Cafeboy, simbol ketidaktegasan Pemerintah dan Pihak Polsek Wajak, meski diduga tanpa Perizinan lengkap, Cafeboy masih Gelar Pesta miras setiap malam

MALANG // Tarunanewa.com —

Aroma busuk dari dunia malam menyeruak di jantung Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Sebuah bangunan di tepi jalan raya Codo–Wajak yang seolah hanya cucian mobil, ternyata menyimpan kegiatan gelap yang lebih panas dari uap knalpot: karaoke, miras, dan LC tanpa izin. Namanya manis — “Cafe Boy” — tapi isinya adalah tamparan keras bagi hukum dan wibawa pemerintah daerah.

Dari luar, bangunan itu bertuliskan carwash, tapi dari dalam terdengar hentakan musik karaoke, tawa pengunjung, dan langkah kaki para LC berpakaian minim. Malam demi malam, bisnis ilegal ini terus berjalan, sementara aparat hukum hanya jadi penonton bisu di pinggir jalan.

“Izinnya kayaknya gak ada, mas. Dulu pernah ada cafe lesehan di Kidangbang, tapi bukan di lokasi ini. Sekarang kelihatannya cucian mobil, padahal di dalamnya empat room karaoke. LC-nya banyak, mas,” ujar Slamet (45), warga setempat, Kamis (23/10/2025).

Temuan lapangan menunjukkan, Cafe Boy tidak hanya melanggar izin usaha, tapi juga menggerogoti Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan omzet jutaan rupiah per malam, tempat itu tidak tercatat dalam sistem pajak hiburan Kabupaten Malang. Ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi perampokan terhadap hak publik.

“Kalau cuma cuci mobil, gak mungkin rame sampai tengah malam. Musiknya keras, banyak motor parkir, kadang ada mobil dari luar kota. Kita ini warga kecil cuma bisa dengar, polisi lewat aja diem,”
kata Siti Nur (39), pedagang angkringan di sekitar lokasi.

Sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, pajak hiburan adalah sumber utama PAD. Namun ketika Cafe Boy dibiarkan beroperasi tanpa izin, kerugian daerah berjalan setiap malam — dalam bentuk uang tunai dan martabat birokrasi.

Yang lebih mengerikan, penjualan minuman beralkohol tanpa izin di tempat tersebut telah melanggar Perda Kabupaten Malang Nomor 3 Tahun 2015 dan Permendag Nomor 20 Tahun 2014. Kedua aturan itu jelas: setiap pelaku usaha yang menjual miras tanpa izin harus dikenai sanksi tegas.

Pertanyaannya, Di mana Satpol PP? Di mana Dinas Perizinan? Di mana aparat hukum yang digaji dari uang rakyat?

Kesaksian karyawan Cafe Boy justru menelanjangi semua kebohongan.

“Awalnya cuci mobil, terus dibuat cafe. LC-nya ada 13 orang. Malam ini empat room penuh semua. Besok buka lagi jam 10 pagi,” katanya kepada awak Redaksi media ini, Jumat malam (17/10/2025).

Dari pengakuan itu saja sudah jelas: usaha ini tidak lagi bersandiwara. Dari cuci mobil berubah jadi tempat karaoke ber-13 LC, dan beroperasi setiap hari tanpa takut pada hukum. Sementara warga resah, aparat justru seperti mati rasa.

“Kami sudah sering lapor ke perangkat desa, tapi gak pernah ditindak. Malah katanya sudah ‘koordinasi’. Kalau sudah begitu, rakyat bisa apa?,” ujar pria yang sempat ditemui awak media di sebuah warung kopi di sekitar wilayah cafeboy.

Saat dimintai konfirmasi, Kapolsek Wajak justru memberikan jawaban yang lebih pantas disebut pengalihan, bukan penjelasan. Melalui pesan WhatsApp, ia hanya menyarankan agar Redaksi media ini menanyakan izin ke Dinas Perizinan.

Jawaban datar itu justru menimbulkan kecurigaan besar. Apakah Polsek Wajak benar-benar tidak tahu ada tempat hiburan malam beroperasi di wilayah hukumnya, atau memilih pura-pura karena kenyamanan tertentu?

Publik kini mulai bertanya keras, Apakah hukum di Wajak sudah dikontrak oleh pemilik Cafe Boy?
Apakah Kapolsek tahu tapi memilih diam?
Atau jangan-jangan, diamnya karena ada “angin segar” yang berembus setiap malam dari arah Cafe Boy?

Pemilik Cafe Boy berinisial H akhirnya muncul setelah pemberitaan viral. Namun alih-alih menunjukkan bukti izin, H malah meminta Redaksi media ini datang langsung dengan janji akan memperlihatkan dokumen izin. Ketika ditanya nomor registrasi izin, H terdiam.

Menurut sumber internal yang dapat dipercaya, baru setelah berita ini meledak, pemilik Cafe Boy mendadak mengurus izin ke Dinas Perizinan.
Pertanyaannya sederhana tapi mematikan, Mengapa baru sekarang?
Berapa lama Cafe Boy telah merampas pajak daerah tanpa sanksi sedikit pun?

Fenomena Cafe Boy adalah bukti bahwa pengawasan pemerintah daerah nyaris nihil. Jika tempat hiburan seperti ini bisa tumbuh, berkembang, bahkan merekrut 13 LC tanpa izin, apa gunanya Dinas Perizinan dan Satpol PP?

Apakah mereka tidak pernah meninjau lapangan, atau memang memilih tutup mata karena setoran bulanan lebih manis dari tanggung jawab?

Sesuai Pasal 162 ayat (1) PP Nomor 5 Tahun 2021, usaha tanpa izin harus langsung dihentikan dan disegel.
Namun fakta di lapangan justru berbanding terbalik, Cafe Boy masih beroperasi dengan tenang, bahkan LC-nya sempat berpesta ulang tahun di dalamnya. Ini bukan sekadar pelanggaran. Ini penghinaan terhadap negara. Karena di tempat ini, hukum tidak berkuasa, uanglah yang menjadi dewa.

Ketika aparat diam dan pemerintah pura-pura tidak tahu, maka rakyat berhak bersuara. Redaksi media ini menegaskan:
Bahwa Cafe Boy adalah simbol bobroknya pengawasan Pemkab Malang.
Bahwa diamnya aparat hukum adalah bukti nyata adanya pembusukan integritas di level bawah. Dan bahwa pembiaran ini adalah pengkhianatan terhadap rakyat dan konstitusi.

Pemerintah Kabupaten Malang dan aparat Polsek Wajak kini berdiri di persimpangan, Berani menegakkan hukum, atau selamanya dicatat sebagai pelindung pelanggar hukum.
Masyarakat Wajak tidak butuh pejabat yang pandai bicara, tapi tindakan nyata.
Karena selama hukum bisa dibungkam dengan amplop, maka keadilan hanyalah lelucon yang dibacakan di tengah pesta LC dan musik karaoke.

Kasus ini belum selesai. Redaksi media ini sedang menelusuri lebih dalam — siapa sebenarnya oknum di balik perlindungan Cafe Boy.
Apakah di tingkat kecamatan? Dinas perizinan? Atau justru di lingkaran penegak hukum itu sendiri?

Satu hal pasti, Selama hukum diperdagangkan dan rakyat dikhianati, Redaksi media ini tidak akan berhenti menulis. Selama Nomer Registrasi tidak ditunjukan Redaksi Media ini pun juga tidak akan berhenti untuk menulis, Sebab diam di tengah kebusukan, sama saja ikut menjadi bagian dari kejahatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *