Demi Menegakkan Keadilan Menjunjung Tinggi Marwah Jurnalis Yang Nama Akrabnya Bang Ziwa Dewan Pembina dari Shorenk Lamongan, Siap Laporkan Oknum wartawan dan Juga Masih Aktf sebagai Kepala Kasun (POLO)
Lamongan -//Cakranusantara.online – Gelombang panas konflik media kembali bergoyang di wilayah bumi Soto Lamongan. Seorang pria berinisial SA, yang masih aktif menjabat sebagai perangkat desa sebagai kasun, kini menjadi sorotan tajam publik dan kalangan jurnalis independen. SA dilaporkan telah melakukan pelaporan hukum terhadap RM, salah satu anggota Media Bintang empat, dengan dugaan pencemaran nama baik. Namun, di balik kasus pelaporan itu, muncul aroma busuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran kode etik yang semakin menyengat.
Menurut informasi yang dihimpun tim investigasi Media dan LSM SA kerap memperkenalkan diri di berbagai forum sebagai wartawan, bahkan mengaku memiliki kedekatan dengan sejumlah redaksi media daring lokal. Lebih parah lagi, SA disebut memerintahkan wartawan dari redaksi lain untuk menulis berita sesuai arahannya, dengan membawa nama medianya sendiri, seolah memiliki otoritas editorial.
Dalam sistem hukum Indonesia, jabatan perangkat desa adalah jabatan publik yang terikat oleh sumpah dan aturan ketat. Mengacu pada Pasal 51 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, perangkat desa wajib menjaga netralitas dan tidak boleh merangkap jabatan lain yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Pasal 51 huruf (g) UU Desa menyebut “Perangkat Desa dilarang menjadi pengurus partai politik, menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan, serta melakukan pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan terhadap jabatan.”
Profesi wartawan adalah profesi independen yang menuntut kebebasan dari kepentingan politik, jabatan publik, dan kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian, seorang perangkat desa yang mengaku sebagai wartawan jelas melanggar prinsip netralitas dan profesionalitas, bahkan bisa dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi.
Tidak berhenti di situ. Jika benar SA menggunakan statusnya sebagai perangkat desa untuk mengarahkan pemberitaan, maka tindakannya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Pasal 421 KUHP yang berbunyi “Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
Selain itu, Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga dapat menjerat SA jika terbukti menyebarkan atau mengarahkan pemberitaan yang mengandung unsur fitnah atau provokasi berbasis media daring.
Lebih jauh lagi, Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas melarang siapa pun yang menghambat kerja jurnalis independen, atau menyalahgunakan profesi wartawan untuk tujuan nonjurnalistik.
“Setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi pelaksanaan kemerdekaan pers dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000.”
Dengan demikian, SA berpotensi melanggar dua rezim hukum sekaligus — hukum pidana umum (KUHP) dan hukum pers.
Jika benar demikian, maka praktik semacam ini tak ubahnya seperti “mafia informasi” di tingkat desa, di mana posisi pemerintahan dan kekuatan media dijadikan alat tekanan untuk kepentingan pribadi dan politis.
Salah satu jurnalis mudah berambut jambul merah yang sering terdengar dengan nama Bodeng menilai bahwa tindakan SA merupakan bentuk pencemaran profesi wartawan. “Jangan seenaknya pakai rompi pers kalau masih terikat jabatan publik. Itu penghinaan terhadap kerja jurnalis sejati yang berjuang dengan idealisme, bukan dengan jabatan,” tegas Bodeng salah satu anggota Forum Wartawan Arus Bawah.
Dalam kode etik jurnalistik yang diatur oleh Dewan Pers melalui Peraturan Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008, disebutkan bahwa wartawan tidak boleh memiliki kepentingan pribadi yang dapat memengaruhi independensi pemberitaan. SA yang masih menjabat perangkat desa jelas tak memenuhi unsur independensi tersebut.
Jika terbukti benar, maka SA bisa dijatuhi sanksi administratif berupa pemberhentian dari jabatan perangkat desa sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU Desa, serta sanksi etik dari Dewan Pers jika terbukti mengaku sebagai wartawan tanpa legalitas dari perusahaan pers yang sah.
Sementara itu, pihak Dewan Pembina Shorenk Lamongan sebut Saja Bang Ziwa disebut akan melakukan langkah hukum balik untuk melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang dan profesi ganda yang dilakukan oleh SA.
Kasus SA ini membuka borok lama tentang oknum perangkat desa yang bermain dua kaki, menjadikan media sebagai tameng kekuasaan. Profesi jurnalis dijadikan topeng, bukan panggilan nurani. Jika penegak hukum serius menelusuri kasus ini, maka unsur pelanggaran administratif, etik, dan pidana semuanya terpenuhi.
ada yang menjadikannya cambuk untuk menekan lawan. Dan SA adalah contoh bagaimana kekuasaan kecil di tingkat desa bisa berubah menjadi monster ketika moral sudah mati.” Ujar Bang Ziwa saat diwawancara di kantor Media Shorenk Lamongan, Senin (13/10/2025).
(Red)

