Tembok Penahan Tanah atau Penahan Korupsi? Dugaan Permainan Dana Desa di Mantup Mencuat

Lamongan || Cakranusantara.online –

Bau busuk dugaan permainan proyek kembali tercium tajam dari Desa Kedungsoko, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan. Kali ini, sorotan tajam publik tertuju pada sebuah papan proyek bertuliskan “Pembangunan Tembok Penahan Tanah” dengan anggaran sebesar Rp50.000.000 yang bersumber dari Dana Desa (DD) Tahun Anggaran 2025.

Sekilas, papan proyek itu tampak biasa. Namun, jika dicermati lebih dalam, justru banyak kejanggalan yang menyeruak. Mulai dari ukuran pekerjaan yang tak jelas, nilai anggaran yang tidak wajar, hingga pelaksanaan proyek yang rawan manipulasi.

Dalam papan proyek tersebut tertulis volume pekerjaan X 0,3 x 0,8 m. Pertanyaannya, apa maksud dari “X”?. Apakah panjangnya sengaja dikaburkan? Atau memang sengaja ditulis samar agar publik tak bisa mengukur?

Publik layak menduga bahwa ini adalah modus klasik: volume pekerjaan tidak transparan demi mempermudah praktik penggelembungan anggaran alias mark up. Bagaimana mungkin proyek yang menelan biaya hingga Rp50 juta tidak menjelaskan panjang tembok yang dibangun? Bukankah itu justru inti dari pekerjaan konstruksi?

Mari kita bandingkan dengan standar harga konstruksi sederhana di lapangan. Dengan anggaran Rp50 juta, seharusnya bisa dibangun tembok penahan tanah dengan panjang puluhan meter, tergantung kualitas material yang dipakai. Namun, ketika volume panjangnya disembunyikan, wajar bila muncul kecurigaan: apakah uang rakyat benar-benar dipakai untuk membangun, atau hanya menjadi ajang bancakan oknum?

LSM dan media yang turun ke lokasi mempertanyakan keras. Jangan sampai proyek ini hanya menjadi “proyek papan nama”, di mana papan anggaran terpasang megah, namun hasil pekerjaan di lapangan minim, bahkan bisa jadi nihil.

Dalam papan tertulis tujuan proyek adalah “Upaya jalan tidak tergerus air / longsor”. Namun, faktanya, warga sekitar justru pesimis. Mereka khawatir proyek ini tidak benar-benar menyelesaikan masalah. Alih-alih memperkokoh jalan, proyek yang dikerjakan asal-asalan justru akan menjadi bom waktu: tembok bisa roboh hanya dalam hitungan bulan, dan jalan tetap terancam putus ketika musim hujan tiba.

Apalagi, pelaksana kegiatan adalah Tim Desa Kedungsoko sendiri. Artinya, pengawasan rawan tebang pilih. Tanpa pengawasan eksternal yang kuat, siapa yang bisa menjamin tidak ada permainan material, pengurangan mutu, atau sekadar formalitas untuk menyerap anggaran?

Kasus ini bukan sekadar soal tembok penahan tanah. Lebih dari itu, ini adalah cermin bagaimana Dana Desa (DD) yang digelontorkan pemerintah pusat rawan dipelintir oleh oknum di tingkat desa. Dana yang seharusnya menjadi penopang pembangunan desa, malah kerap dipermainkan untuk memperkaya segelintir pihak.

Rp50 juta mungkin dianggap angka kecil bagi pejabat yang biasa mengatur proyek miliaran. Tapi bagi masyarakat kecil, uang sebesar itu sangat berarti. Jika benar terjadi permainan, itu sama saja dengan merampok uang rakyat dari kantong rakyat miskin sendiri.

Sejumlah elemen masyarakat, termasuk LSM GEMPAR yang sempat mendokumentasikan papan proyek tersebut, menegaskan bahwa mereka tidak akan tinggal diam. Papan anggaran ini menjadi pintu masuk untuk mengungkap lebih dalam dugaan praktik kotor dalam pengelolaan Dana Desa.

Jika ditemukan indikasi penyimpangan, bukan tidak mungkin laporan akan dilayangkan ke aparat penegak hukum. Kejaksaan, Kepolisian, hingga Inspektorat Kabupaten Lamongan harus turun tangan. Jangan sampai kasus ini dibiarkan, karena jika satu desa bisa seenaknya bermain, desa lain akan meniru, dan pada akhirnya rakyat kecil yang menjadi korban.

Kasus papan proyek di Desa Kedungsoko bukan hal sepele. Ini adalah gambaran nyata bagaimana proyek kecil sekalipun bisa menjadi lahan basah permainan anggaran. Publik wajib mengawal, media harus bersuara, dan aparat penegak hukum dituntut tegas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *