Tanah Bengkok Dijarah! Kades Wilayut Ubah Sawah Jadi Tambang Pasir Tanpa Izin — Warga Menjerit, Desa Terjual Murah Rp 5 Juta Setahun, Dan Untuk memperkaya kades Erwin..
Sidoarjo – //Cakranusantara.online – Aroma busuk praktik penyalahgunaan kewenangan kembali tercium tajam dari wilayah Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo. Kali ini, sorotan tajam publik mengarah kepada kades Erwin, Kepala Desa Wilayut, yang diduga mengubah fungsi tanah bengkok desa tanpa izin dan secara terang-terangan menyewakan lahan tersebut untuk kepentingan pribadi.
Tanah bengkok yang sejatinya merupakan aset desa dan sumber penghidupan bagi masyarakat petani, kini berubah total. Sawah subur yang dahulu menjadi tempat warga menggantungkan harapan panen, kini disulap menjadi lahan kering tandus dan dijadikan area penumpukan (stoppel) pasir, yang diduga kuat beroperasi tanpa seizin instansi terkait.
Menurut hasil penelusuran Tim investigasi media dan LSM di lapangan, warga sekitar menyebut bahwa perubahan fungsi lahan itu tidak melalui mekanisme musyawarah desa, tidak ada izin tertulis dari dinas pertanian maupun tata ruang, dan bahkan tidak tercatat dalam dokumen aset desa. Ironisnya, dalam pernyataan kepada beberapa awak media, Erwin sendiri mengakui bahwa lahan tersebut memang disewakan sebesar Rp 5 juta per tahun.
Sebuah pengakuan yang justru menegaskan pelanggaran serius terhadap peraturan perundangan. Pasalnya, berdasarkan ketentuan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa, tanah bengkok tidak boleh dialihkan atau disewakan untuk kegiatan non-pertanian tanpa izin tertulis dari bupati dan rekomendasi dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Namun kenyataan di lapangan berkata lain. Kini, lahan yang dulunya hijau dan penuh kehidupan itu telah berubah menjadi hamparan debu, gersang, dan berisik oleh aktivitas kendaraan pengangkut pasir. Tidak ada lagi padi, tidak ada lagi air irigasi—yang ada hanyalah jejak kerakusan yang mencabik wajah moral seorang kepala desa.
Warga mulai bersuara. Beberapa petani mengaku kecewa dan marah atas tindakan sepihak yang dilakukan kades Erwin. “Dulu sawah itu sumber penghasilan warga. Sekarang kering semua, nggak bisa ditanami lagi. Katanya buat kemajuan desa, tapi mana buktinya?” ujar salah satu warga yang meminta identitasnya disembunyikan karena takut akan intimidasi.
Kemarahan warga semakin membara karena dugaan kuat bahwa hasil sewa sebesar Rp 5 juta per tahun itu tidak pernah masuk ke kas desa. Tidak ada laporan transparan, tidak ada berita acara, bahkan tidak ada papan informasi publik yang biasanya wajib dipasang terkait pemanfaatan aset desa.
Para aktivis dan pemerhati kebijakan publik pun mulai angkat suara. Menurut mereka, kasus ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan indikasi kuat adanya korupsi dan penyalahgunaan jabatan.
“Jika benar kepala desa menyewakan lahan bengkok tanpa izin, itu berarti ada pelanggaran ganda: melanggar hukum dan mengkhianati kepercayaan publik. Ini bentuk kejahatan agraria terselubung!” ujar salah satu aktivis dari Forum Pemerhati Desa Sidoarjo.
Lebih kejam lagi, perubahan fungsi lahan tersebut juga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Aktivitas stoppel pasir dapat menyebabkan erosi, pencemaran air, serta gangguan ekosistem sekitar. Padahal, Desa Wilayut termasuk daerah yang masih memiliki lahan pertanian produktif yang menjadi penyangga ketahanan pangan lokal.
Pihak Pemerintah Kabupaten Sidoarjo hingga kini belum mengeluarkan pernyataan resmi, namun tekanan publik semakin deras. Sejumlah tokoh masyarakat dan lembaga swadaya mulai mendorong agar inspektorat dan aparat penegak hukum turun tangan menyelidiki kasus ini.
Skandal ini membuka kembali luka lama: betapa seringnya tanah-tanah bengkok desa dijadikan “ladang uang pribadi” oleh oknum-oknum yang seharusnya melindungi aset rakyat. Alih fungsi lahan tanpa izin bukan hanya bentuk penghianatan terhadap amanah jabatan, tapi juga penjarahan terhadap masa depan generasi desa.
Kini mata publik tertuju pada kades Erwin, Kepala Desa Wilayut. Akankah ia dimintai pertanggungjawaban? Ataukah kasus ini akan kembali tenggelam dalam lumpur. (Bodeng)