Dugaan Penimbunan Solar Bersubsidi di Desa Dumpiagung Jadi Sorotan Tajam Warga dan Media
Lamongan – //Cakranusantara.online – Bau busuk praktik haram yang selama ini hanya beredar sebagai desas-desus akhirnya semakin nyata. Dugaan adanya penimbunan solar bersubsidi di sebuah gudang yang berada di wilayah Desa Dumpiagung, Kecamatan Kembangbahu, Kabupaten Lamongan, kini menyeruak ke permukaan dan menjadi sorotan tajam warga. Solar yang sejatinya menjadi hak rakyat kecil—nelayan, petani, sopir angkutan, hingga masyarakat kecil lain—justru dicaplok secara serakah, ditimbun dalam jumlah besar, lalu dialirkan ke industri rakus yang haus bahan bakar murah.
Ironi ini bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, rakyat harus rela antre berjam-jam di SPBU untuk sekadar memperoleh beberapa liter solar. Di sisi lain, mafia korporasi justru bisa melenggang bebas membawa tangki demi tangki berisi ribuan liter solar ke gudang-gudang gelap yang dijaga ketat. Solar bersubsidi, yang harganya dipermurah dengan keringat pajak rakyat, dirampok di depan mata, lalu diperjualbelikan dengan harga lipat ganda demi keuntungan segelintir pengusaha hitam.
Pada Selasa, 30 September 2025, tim awak media mencoba menelusuri kasus ini lebih jauh. Dari hasil investigasi, muncul pengakuan mengejutkan dari seorang pegawai yang berhasil ditemui. Dengan wajah pucat dan nada suara penuh keraguan, ia menyebut adanya pihak tertentu yang menjadi pemasok utama solar untuk gudang tersebut. Nama perusahaan memang belum bisa dibuka secara gamblang, namun dugaan kuat mengarah pada jaringan besar yang selama ini bergerak di sektor energi dan distribusi bahan bakar.
Seorang warga sekitar yang menolak disebut namanya dengan lantang menyampaikan: kami sering lihat truk tangki keluar masuk malam hari. Anehnya, di SPBU kami sering kehabisan solar, padahal di gudang itu solar seakan tidak ada habisnya. Kalau ini bukan permainan mafia, lalu apa?”
Fenomena ini bukan sekadar praktik bisnis gelap, melainkan kejahatan sosial yang nyata-nyata mencekik rakyat kecil. Nelayan terpaksa mengurangi jadwal melaut karena biaya bahan bakar melonjak, petani kesulitan menghidupkan mesin pompa untuk sawahnya, sementara sopir truk dan angkutan umum harus mengantre panjang tanpa kepastian. Semua jeritan itu terdengar di lapisan bawah, tetapi justru menjadi bahan tawa bagi mafia solar yang menari-nari di atas penderitaan rakyat.
Seorang nelayan dari Brondong dengan wajah penuh amarah berkata: kami harus rebutan solar di SPBU, sering pulang dengan tangki kosong. Kalau begini terus, kami bisa bangkrut. Sementara itu, mafia bisa seenaknya menimbun solar. Ini penghianatan terhadap kami rakyat kecil!”
Yang membuat masyarakat semakin muak adalah dugaan kuat bahwa praktik ini berlangsung bukan sehari dua hari. Penimbunan solar bersubsidi dalam jumlah besar tentu mustahil berjalan mulus tanpa adanya pembiaran dari aparat. Apakah aparat benar-benar tidak tahu, atau jangan-jangan pura-pura tidak tahu?
Lebih parah lagi, kecurigaan menguat bahwa ada “pelicin” yang membuat mata aparat seolah-olah buta, telinga tuli, dan mulut terkunci rapat. Jika benar ada aparat yang bermain di balik skema ini, maka bangsa ini sedang digerogoti dari dalam oleh para pengkhianat berseragam.
Seorang aktivis LSM bidang energi, yang selama ini vokal menyoroti penyalahgunaan BBM bersubsidi, menegaskan: penimbunan solar bersubsidi ini jelas tidak mungkin berdiri sendiri. Ada aparat yang melindungi. Kalau tidak, mana mungkin mafia bisa begitu leluasa beroperasi? Kalau pemerintah diam, berarti pemerintah ikut jadi bagian dari kejahatan ini.”
Pihak pemasok solar untuk gudang-gudang gelap ini wajib diusut tuntas. Jaringan distribusi, aliran keuangan, hingga siapa saja yang ikut menikmati solar hasil rampokan rakyat harus dibongkar tanpa ampun. Bila dugaan ini terbukti, maka jelas para pelaku bukanlah penyedia energi, melainkan penghisap darah rakyat yang tega menggadaikan masa depan bangsa demi lembaran rupiah.
Kasus Dumpiagung hanyalah satu potret kecil dari carut-marut tata kelola energi bersubsidi di negeri ini. Subsidi yang semestinya menjadi pelindung rakyat kecil justru berubah menjadi ladang perampokan berjamaah. Nelayan yang seharusnya berlayar dengan tenang kini dihantui biaya solar yang melambung, petani menjerit karena sawah terancam kering, sopir angkutan terjebak dalam antrean panjang yang melelahkan. Semua itu terjadi sementara mafia solar duduk manis menikmati laba haram dari keringat rakyat.
Seorang pakar energi dari Universitas Brawijaya turut menyoroti persoalan ini: solar bersubsidi adalah komoditas strategis. Jika distribusinya bocor, bukan hanya ekonomi rakyat yang hancur, tapi juga stabilitas nasional. Mafia solar ini harus diperlakukan sebagai ancaman serius, setara dengan korupsi besar-besaran.”
Kasus ini adalah tamparan keras bagi pemerintah dan aparat penegak hukum. Jika praktik busuk seperti ini masih terus dibiarkan, maka jelas negara sedang kalah di hadapan mafia. Rakyat akan kehilangan kepercayaan, dan subsidi yang digadang-gadang sebagai bentuk keadilan sosial hanya menjadi fatamorgana belaka.
Masyarakat menuntut agar kasus penimbunan solar bersubsidi di Dumpiagung tidak ditutup-tutupi. Aparat penegak hukum harus berani menyikat habis siapa pun yang terlibat, tanpa pandang bulu. Jika perlu, cabut izin perusahaan, seret bos-bosnya ke penjara, dan ungkap siapa saja oknum aparat yang bermain di balik layar.
Sebab, bila kejahatan ini terus dibiarkan, maka bukan hanya solar yang ditimbun—tetapi juga keadilan, kepercayaan rakyat, dan masa depan bangsa yang sedang dikubur hidup-hidup di gudang-gudang gelap milik mafia energi. (Red)