Mojodowo Berdarah: Pemerintah Desa Diduga Tutup Mata atas Sarang Judi Sabung Ayam dan Dadu”
Mojokerto – //Cakra Nusantara.online –
Ketika hukum seharusnya menjadi tameng moral masyarakat, di Desa Mojodowo, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, justru yang tumbuh subur adalah lumpur dosa yang disiram oleh taruhan dan darah ayam sabung. Dalam bayangan sawah yang tenang dan bale-bale bambu yang seolah bersahaja, berdiri gelanggang perjudian yang lebih mirip neraka kecil – di mana hukum mati berdiri, dan nurani dikubur bersama bulu ayam yang tercerabut.
Penelusuran tim investigasi Media dan LSM pada hari Sabtu (11/10/2025), di lapangan menemukan bahwa praktik sabung ayam di Mojodowo bukan lagi sekadar permainan liar. Ia telah menjelma menjadi ritual berdarah yang dilegalkan secara diam-diam.
Setiap akhir pekan, puluhan pria dari berbagai desa sekitar datang membawa ayam jago terbaik mereka. Uang taruhan menumpuk di tangan bandar, sorakan menggema, dan suara ayam berkokok bercampur darah menjadi pemandangan yang dianggap “hiburan rakyat”.
Tak berhenti di situ, arena sabung ayam itu juga menyediakan meja dadu dan judi koprok, lengkap dengan bandar dan kaki tangan yang bertugas mengawasi jalannya taruhan. Uang jutaan rupiah berpindah tangan dalam hitungan menit.
Semua berjalan tanpa rasa takut, tanpa pengawasan, dan tanpa tindakan hukum.
> “Sudah biasa, Mas. Setiap minggu ramai. Polisi juga tahu, tapi ya cuma lewat. Orang desa juga nggak berani ngomong, takut dianggap musuh,” ujar salah satu warga berinisial S, (42), saat ditemui di warung dekat lokasi arena sabung ayam.
Yang membuat publik geram, bukan hanya maraknya perjudian itu, tetapi diamnya aparat pemerintah desa Mojodowo. Banyak warga meyakini bahwa pihak desa mengetahui aktivitas tersebut, namun memilih tutup mata.
Ada pula dugaan bahwa sebagian oknum mendapat “jatah keamanan” dari bandar judi agar arena tidak diganggu.
> “Kalau cuma warga kecil yang buka judi, sudah digerebek dari dulu. Tapi ini lain, kayaknya ada orang dalam yang lindungi. Yang jaga itu bukan orang sembarangan,” kata MH, tokoh pemuda setempat yang kesal dengan situasi tersebut.
Pembiaran seperti ini jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip dasar pemerintahan yang baik (good governance), serta melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang pada Pasal 26 ayat (4) huruf a menegaskan bahwa Kepala Desa berkewajiban memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, UUD 1945, serta menegakkan peraturan perundang-undangan.
Namun di Mojodowo, nilai itu dibungkus rapi dalam amoralitas berjamaah.
Fenomena ini menampar keras wajah penegakan hukum di Kabupaten Mojokerto.
Menurut Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), disebutkan bahwa:
> “Barang siapa dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan untuk main judi, atau turut serta dalam perusahaan untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah.”
Namun, pasal ini seolah hanya tulisan mati di atas kertas.
Tidak ada tindakan nyata, tidak ada penggerebekan besar, tidak ada penegakan hukum yang berarti — yang ada hanya kabar angin dan uang tutup mulut.
> “Kami sudah beberapa kali melapor, tapi ujung-ujungnya ya hilang begitu saja. Kadang katanya mau ditindak, tapi sampai sekarang nggak pernah ada razia,” keluh N, seorang warga perempuan yang rumahnya tak jauh dari lokasi.
Lebih menyakitkan, perjudian ini perlahan menggerogoti sendi ekonomi masyarakat kecil.
Banyak warga tergoda ikut taruhan dengan harapan menang cepat. Namun yang terjadi sebaliknya: hutang menumpuk, barang dijual, rumah tangga berantakan.
> “Suamiku dulu kerja serabutan. Sekarang tiap Sabtu-Minggu malah ke arena judi. Pernah kalah besar, sampai pinjam uang ke tetangga. Kami yang susah,” ujar AD (36), warga setempat dengan mata berkaca-kaca.
Dampaknya bukan hanya ekonomi, tetapi juga moral anak-anak muda.
Mereka tumbuh melihat perjudian sebagai hal lumrah. Ketika generasi muda terbiasa dengan taruhan dan kekerasan, maka Mojodowo bukan lagi desa — tapi ladang kehancuran moral yang ditanam dan dipupuk oleh pembiaran.
Setiap kali ayam beradu, darah menetes di tanah. Tapi yang sejatinya berdarah bukan hanya ayam, melainkan nurani manusia yang ikut mati pelan-pelan.
Ketika aparat diam, ketika desa bungkam, ketika rakyat takut bicara, maka kejahatan menjadi budaya.
Dan ketika kejahatan menjadi budaya, maka pemerintahlah yang berdosa.
Media dan LSM menyerukan agar Kapolres Mojokerto, Camat Kemlagi, dan Bupati Mojokerto segera menggelar razia total, menindak bandar, dan memeriksa oknum pemerintahan desa yang terlibat pembiaran.
Tidak cukup dengan razia simbolis. Dibutuhkan pembersihan struktural dan moral, agar Mojodowo tidak menjadi contoh buruk bagi seluruh wilayah Jawa Timur.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa, pemerintah desa memiliki kewajiban menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.
Jika mereka justru membiarkan perjudian, maka kepala desa layak diperiksa dan diberhentikan sementara karena telah melanggar asas penyelenggaraan pemerintahan desa.
Perjudian di Mojodowo bukan sekadar pelanggaran hukum — ini adalah pengkhianatan terhadap nurani bangsa.
Negara tak boleh diam. Polisi tak boleh buta. Pemerintah tak boleh tuli.
Karena setiap darah ayam yang menetes di gelanggang sabung, adalah simbol dari matinya hukum di desa yang dibiarkan busuk oleh pembiaran dan ketamakan.
> “Kalau negara kalah melawan perjudian di Mojodowo, maka kita semua sudah jadi penonton dari kehancuran moral bangsa,” Editorial Media Cakra Nusantara